Tren Perkembangan Domba dan Kambing di Indonesia
Segmentasi
pasar terbesar domba kambing masih didominasi pasar aqiqah dan qurban. Asosiasi
Pengusaha Aqiqah Indonesia dalam kegiatan Rakernas 26 Februari 2019 di Cikole
Lembang menyampaikan bahwa tahun 2017-2018 masih tumbuh pada kisaran 10-12%
sedangkan untuk tahun 2019 diprediksi turun terlihat pada pada kuartal pertama
terjadi penurunan pasokan dibandingkan periode sebelumnya. Sedangkan untuk
pemotongan konsumsi daging reguler belum ada angka yang secara definitif dapat
menjelaskan dari sisi kuantiti, namun dari sisi harga sudah terjadi peningkatan
harga lebih dari 20% dalam satu tahun terakhir. Sedangkan pada pasar qurban
pada posisi saat ini turun untuk jumlah pasokan dan terjadi peningkatan harga
20% dari posisi tahun lalu.
Secara
umum tren perkembangan budidaya domba dan kambing mengalami perkembangan yang
positif. Indikasi tersebut terlihat dari terbukanya peluang pasar baik dalam
negeri maupun pasar ekspor yang memberikan dampak positif pada peternak untuk
melakukan budidaya domba dan kambing. Selain itu, ternak domba dan kambing
mulai menjadi tema dan bahasan ditingkat nasional maupun daerah yang mendorong
kebijakan dan program kearah komoditas tersebut melalui kegiatan yang HPDKI
jalankan yaitu program Silatnas (silaturahmi nasional) dan kontes ternak piala
presiden 3 tahun terakhir serta gerakan klaster domba dan kambing cukup
memberikan dampak signifikan terhadap antusiasme masyarakat untuk beternak
domba dan kambing.
Disisi
lain, cepatnya perkembangan tersebut belum mampu diantisipasi dengan baik,
seperti terbukanya peluang pasar tidak dibarengi dengan kesiapan integrasi
pembangunan hulu-hilir dan dukungan kebijakan disektor hulu, menyebabkan saat
ini terjadinya penurunan pasokan yang cukup signifikan. Tema dan bahasan juga belum
mampu mengarah pada dukungan kebijakan dan program yang spesifik pada
penganggaran pemerintah di tingkat nasional maupun daerah jika dibandingkan
dengan keberpihakan anggaran untuk sapi dan ayam. Tumbuhnya antusiasme peternak
domba kambing masih terkonsentrasi di hilir dan tengah (penggemukan) yang
membentuk sebuah korporasi, ditingkat pembiakan secara komersil masih minim,
sedangkan ditingkat pembibitan masih ditopang oleh seni dan budaya daerah
seperti domba garut, kambing PE dan Kaligesing yang perlu diarahkan pada aspek
produksi.
Dalam
konteks kebijakan HPDKI
dalam tujuannya
tengah meningkatkan peran strategis pengembangan peternakan Domba dan Kambing
yang diarahkan pada lima aspek yang menjadi keunggulan ternak Domba dan Kambing yaitu: (1) Budidaya
Domba dan Kambing sebagai kegiatan yang relevan dengan pemberdayaan dan penggerak
ekonomi masyarakat pedesaan, (2) Daging Domba dan Kambing sebagai sumber
protein hewani alternatif selain Daging Ayam dan Daging Sapi; (3) Pembangunan peternakan dengan berbasis
budaya masyarakat; (4) Mewujudkan Korporasi peternakan domba dan kambing guna
meningkatkan populasi dan
produktifitasnya, menjamin keberlanjutan usaha budidaya peternakan domba
dan kambing, serta menyediakan kebutuhan
pangan masyarakat; dan (5) Mengisi pasokan untuk pasar ekspor ke
negara-negara regional ASEAN.
Pemenuhan Ekspor yang Berkelanjutan
HPDKI
selalu melihat perspektif tersebut secara holistik, disatu sisi ekspor adalah merupakan
suatu kebanggaan untuk para peternak karena komoditas domba Indonesia memiliki
daya saing ditingkat regional khusunya negara ASEAN dan peternak yang
membudidayakan domba secara langsung dapat menikmati insentif dari kegiatan
tersebut baik dari sisi harga maupun pilihan alternatif dalam menjual ternaknya.
Namun, perspektif lainnya ekspor akan berdampak sebaliknya jika prasyarat
pembangunanya tidak dilakukan dalam rangka keberlangsungan selanjutnya.
Sejak
awal HPDKI terlibat dalam perumusan Permentan No 2 Tahun 2018 yang menjadi
payung regulasi ekspor domba adalah pasar ekspor sebagai pilihan peternak untuk
menjual dombanya selain pasar dalam negeri baik aqiqah, qurban maupun pasar
reguler. Setidaknya ada 2 faktor yang cukup mendasari alasan HPDKI ikut serta
dalam perumusan tersebut yaitu : (1) Faktor harga, saat itu harga domba
ditingkat peternak sangat rendah (1 juta dapat 3 ekor) dimana peternak yang
membudidayakan secara langsung tidak memiliki pilihan untuk menjual dombanya
didalam negeri dengan harga yang ada; (2) Daya serap pasar, penyerapan pasar
domestik hanya mampu menyerap domba dibawah 20 kg untuk pasar aqiqah dan
maksimal 25 kg untuk pasar reguler yang konsumsinya sangat terbatas. Sedangkan
peternak yang memiliki domba-domba besar yang sebelumnya digemukan tidak mampu
diserap oleh pasar dalam negeri. Dengan adanya pasar alternatif ekspor
diharapkan peternak memiliki pilihan lain untuk menjual ternaknya sehingga
peternak yang membudidayakan memiliki posisi tawar yang lebih baik; (3) Data
statistik, data statistik domba saat itu dan sampai saat ini juga menunjukan
bahwa supply domba berlebih jika dibandingkan untuk kebutuhan rill dalam
negeri, diperkuat indikator harga yang terjadi saat itu. Namun faktanya
ternyata berbeda, tidak lebih sampai 1 tahun setelah peraturan ekspor dibuka
sudah menimbulkan gejolak yang cukup signifikan terkait dengan kondisi pasokan
dalam negeri sampai saat ini padahal jika melihat jumlah realisasi ekspor
sebenarnya tidak signifikan dan ekspor yang dilakukan hanya jantan untuk
memenuhi kebutuhan qurban belum konsumsi reguler.
HPDKI
juga mendorong para pelaku ekspor juga perlu membangun satu kegiatan pembinaan peternak
dalam bentuk kemitraan untuk menjamin kontinyuitas produksi dan ekspor yang
berkelanjutan. Selanjutnya, dampak kegiatan ekspor harus mampu diiringi dengan perbaikan
kualitas mutu produk domba melalui penerapan penerapan budidaya yang baik
dipeternak, bukan hanya sekedar mengumpulkan dan memindahkan ternak namun ada
proses produksi untuk meningkatkan nilai produk ternak yang dilakukan. Konteks
daya saing produk domba yang diekspor tidak hanya pada sisi harga yang
kompetitif namun juga peningkatan kualitas produk ternak yang dihasilkan. Disisi
lain, keuntungan
yang didapat para stake holder usaha
domba dengan adanya ekspor tersebut adalah insentif harga yang lebih
baik, volume penjualan, dan posisi alternatif dalam menjual ternak. Dengan tiga
hal tersebut seharusnya stakeholder bisnis dapat meningkatkan gairah peternak
dalam berusaha budidaya domba kambing.
Dalam
roadmap pembangunan peternakan domba kambing yang disampaikan kepada pemerintah
di depan Presiden RI di Istana Bogor tahun 2016 dan pada tahun 2017 di Cibubur
juga menggaris bawahi bahwa prasyarat ekspor dapat dilakukan setelah tahapan
program pembangunannya dilaksanakan dalam menuju ekspor yang berkelanjutan. Dalam
jangka pendek, program yang didorong oleh HPDKI salah satunya adalah membentuk
klasterisasi peternak di tengah dalam hal ini penggemukan. Kemudian, membentuk
klaster di hulu dalam hal ini pembiakannya, HPDKI berusaha melakukan
sinergisasi kepada para stakeholders terkait untuk memberikan dukungan dalam
pembiayaan, asuransi domba, dan introduksi bibit untuk perbaikan genetik ternak
lokal di tingkat peternak. Ekspor adalah buah hasil dari program pembangunan
tersebut, dimana terbentuknya integrasi hulu-hilir secara berkesinambungan.
Oleh
karenanya jika diperhatikan tema HPDKI setiap tahunnya selalu berkesinambungan.
(1) Tahun 2016 HPDKI menyuarakan pembibitan domba kambing berbais budaya dalam
rangka memperkuat sumberdaya genetik ternak asli Indonesia. Tema tersebut
dicanangkan saat HPDKI membawa 1.000 peternak dan 1.000 domba garut ke Istana
Bogor untuk bertemu Presiden RI. (2) Tahun 2017 HPDKI mencanangkan korporasi
peternakan rakyat berbasis klaster saat di Cibubur dalam pertemuan ke 2 bersama
presiden. Pembentukan klasterisasi penggemukannya sudah terlaksana sepanjang
tahun 2018. (3) Tahun 2018 akhir HPDKI mencanangkan klaster pembiakan dan
mengajak peternak milenial (muda) dalam penyiapan teknologi informasinya. Tahun
2019 adalah pelaksanaan dari kegiatan tersebut dimana saat ini prasayarat
klaster pembiakan seperti intriduksi bibit, pembiayaan, skema produksi, dan
teknologi informasinya sedang disiapkan. (4) Jika hal tersebut sudah dilakukan,
dalam perspektif HPDKI barulah ekspor yang berkelanjutan dapat dilaksanakan.
Indonesia mampu menjadi negara eksportir domba berkualitas di
masa depan, berdasarkan interaksi yang HPDKI pernah lakukan baik dari
Malaysia, Singapura maupun Brunei setidaknya ada 2 modal domba kambing
Indonesia memiliki daya saing yang cukup dibanding Australia yang saat ini
memainkan pasar regional untuk memasok, (1) letak geografis Indonesia yang
cukup strategis dan lebih diuntungkan dibandingkan dengan eksportir lain
seperti Australia, namun letak geografis yang strategis tersebut tidak
dibarengi dengan infrastuktur transportasi logistik yang memadai sehingga
kendala biaya dan resiko pengiriman masih menjadi persoalan; (2) kesamaan kultur
dan budaya, sama seperti halnya di Indonesia segmentasi pasar domba kambing di
titingkat regional juga masih didominasi oleh kegiatan kegamaan baik aqiqah
maupun qurban dimana masyarakat muslimnya masih menginginkan prosesi pemotongan
disaksikan dan dipotong di masjid-masjid atau dekat rumah bukan di RPH khusus.
Ternak Indonesia tidak memiliki aturan spesifik dalam hal handling seperti
ESCAS yang Australia terapkan, sehingga negara importir dapat lebih nyaman
dalam melakukan handling ternak. Dua
modal tersebut minimal sudah memiliki nilai kometitif yang lebih dibanding
negara lain, selebihnya HPDKI mendorong adanya keberpihakan pemerintah
khususnya dalam hal penganggaran terhadap program pembangunan peternakan domba
dan kambing, tidak hanya dominan pada sapi dan ayam.
Ekspor
adalah pilihan pasar alternatif untuk peternak menentukan menjual ternaknya dan
meningkatkan posisi tawar peternak yang lebih baik. Disisi lain ekspor tidak
selalu mengeluarkan ternak dari dalam ke luar negeri, tapi HPDKI membangun
paradigma lain dimana prinsip ekspor yang terpenting adalah membawa devisa dari
luar ke dalam dengan membudidayakan, memotong, dan mendistribusikan dagingnya
tetap di Indonesia akan memberikan nilai manfaat yang lebih tinggi untuk
peternak. Selain pemangkasan biaya logistik menjadi insentif harga jual dan
nilai perputaran ekonomi di wilayah klaster tersebut tapi peternak dan
lingkungan sekitarnya juga dapat menikmati perbaikan gizi yang lebih baik
dampak dari keberadaan klaster yang ada. Dengan cara tersebut, HPDKI saat ini
melibatkan para peternak milenial untuk membangun sistem teknologi informasi dimana
konsumen diwilayah urban atau konsumen dari negara tujuan ekspor dapat menerima
informasi kegiatan klaster dan ternaknya serta perpindahan ternak dari lokasi
produksi, pemotongan, sampai dengan pendistribusian dagingnya.
Sampai saat ini HPDKI masih melihat pembentukan klaster pembiakan dan pembibitan masih menjadi tantangan yang perlu dicarikan solusi dan perlu dimulai saat ini jika tidak dilakukan segera mungkin akan menjadi permasalahan yang lebih serius. Setidaknya ada 3 tantangan dalam pengembangan tersebut yaitu lahan, pembiayaan, dan ketersediaan induk. Prasyarat lainnya dalam pembentukan klaster yang perlu dicarikan solusinya bersama dan melibatkan banyak stakeholders seperti : penyambungan antara skema produksi dan skema pembiayaan, asuransi ternak untuk menjamin resiko kematian induk, lahan hijauan/ penggembalaan, serta introduksi bibit untuk perbaikan kualitas genetik dalam menbuat ternak komposit/ persilangan.
Ir. Yudi Guntara Noor, S.Pt., IPU
Ketua Umum DPP HPDKI